Apakah sekarang anda berusia 20 Tahun? Apakah anda sering merasa cemas terhadap masa depan anda? merasa kurang percaya diri, gelisah dalam menjalani hidup, merasa kurang motivasi, dan merasa jika setiap hal yang anda tengah rintis telah gagal.
![]() |
| Sumber: www.pixabay.com |
Umumnya di umur 20 – an adalah periode ketika seseorang mengalami krisis emosional yang melibatkan perasaan kesedihan, terisolasi, ketidakcukupan, keraguan terhadap diri sendiri, kecemasan hidup, tak termotivasi, kebingungan, serta merasa ketakutan akan kegagalan.
Jika anda tengah mengalami kondisi di atas, besar kemungkinan anda tengah berada pada fase hidup yang kerap dikenal sebagai Quarter Life Crisis (QLC). Biasanya, dipicu permasalahan finansial, relasi, karier, serta nilai-nilai yang diyakini.
Fase Quarter Life Crisis menimpa seseorang karena adanya berbagai tekanan/ tuntutan dari orang-orang dan lingkungan sekitar. Tekanan dan tuntutan ini biasanya mengenai pencapaian hidup dan tujuan hidup seseorang.
Selain itu, terkadang sisi perfeksionis yang ada di dalam diri seseorang juga mempengaruhi orang untuk masuk pada fase Quarter Life Crisis. Sisi perfeksionis seseorang cenderung menghukum atau menyalahkan dirinya sendiri dengan perasaan tidak berguna karena tidak bisa melakukan sesuatu yang berarti atau tidak bisa menentukan arah hidupnya sendiri dengan jelas.
Menurut peneliti dan pengajar Psikologi dari University of Greenwich, London, Dr. Oliver Robinson, ada empat fase dalam Quarter Life Crisis. Pertama, perasaan terjebak dalam suatu situasi, entah itu pekerjaan, relasi, atau hal lainnya. Kedua, pikiran bahwa perubahan mungkin saja terjadi. Ketiga, periode membangun kembali hidup yang baru. Yang terakhir adalah fase mengukuhkan komitmen anyar terkait ketertarikan, aspirasi, dan nilai-nilai yang dipegang seseorang.
Jika ditilik lebih dalam, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam krisis selama transisi menuju tahap kedewasaan. Aneka fasilitas dan pilihan kemungkinan yang tersedia menyebabkan orang justru stagnan. Jika dibandingkan generasi-generasi terdahulu, milenial dan generasi setelahnya tergolong beruntung karena dapat mengecap beragam kemudahan atau akses yang membuat hidup lebih baik: dari segi peluang kerja, pendidikan, akses kesehatan, keamanan, dan sebagainya.
![]() |
| Sumber: www.pixabay.com |
Soal pekerjaan, seperti apa yang di tulis oleh Forbes, generasi terdahulu boleh jadi memandang tujuan bekerja utamanya adalah untuk mendapat uang semata, sementara sebagian milenial merasa pekerjaan adalah sesuatu yang mesti memenuhi kebutuhan aktualisasinya, harus terkait hal yang disuka atau bisa mewujudkan mimpi-mimpinya.
Cari uang dirasa sebagai hal yang jamak, lapangan kerja bermacam-macam tersedia, tapi mendapat pekerjaan sesuai idamanlah yang patut dikejar menurut mereka. Pergeseran ekspektasi ini memberi sumbangsih pada ketidakpuasan mereka dalam dunia karier, kekecewaan, kecemasan, dan ujung-ujungnya QLC.
Saat segalanya cenderung gampang didapat, suatu hal tak lagi dirasa istimewa, kepuasan seseorang pun semakin susah terpenuhi, demikian dinyatakan Atwood & Scholtz, seorang penulis studi tentang Fase Quarter Life Crisis tadi. Mereka membuat analogi: bila setiap orang bisa memakai jam Rolex dan kemudian hal itu gampang didapat, status dan kesenangan saat memiliki Rolex akan berkurang, bahkan tidak ada.
Aneka pilihan yang tersaji juga berarti ada tanggung jawab-tanggung jawab yang harus diemban. Tidak semua orang sanggup menerima hal tersebut, apalagi bila mereka belum benar-benar matang secara mental, tetapi segi usia sudah dituntut masyarakat untuk bertanggung jawab dalam hal pekerjaan dan relasi. Kesenjangan antara kesiapan diri dengan ekspektasi sosial inilah yang mengakibatkan Fase Quarter Life Crisis.
Referensi:
• ^ "Quarter Life Crisis: Kehidupan Dewasa Datang, Krisis pun Menghadang". Tirto.id. Diakses tanggal 30 April 2020.
• ^ Beaton, Caroline. "Why Millennials Need Quarter-Life Crises".
• ^ Robinson, Oliver. "Quarterlife Crisis: An overview of theory and research" (dalam bahasa Inggris).
Atwood & Scholtz,2008, Contemporary Family Therapy, Vol-30, pages 233–250.


Comments
Post a Comment