Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya bahkan ingin mengetahui apa sebetulnya yang sedang terjadi di sekelilingnya sehingga, rasa ingin tahu ini yang memaksa seseorang perlu berkomunikasi antra satu dengan yang lainya.
Dalam kehidupan ditengah-tengah kerumunan masyarakat, orang yang di anggap tidak pernah atau bahkan jarang berkomunikasi dengan orang lainya niscaya ia akan terisolasi dari orang-orang di sekililingnya. Pengaruh keterisolasian ini biasanya akan menimbulkan depresi mental yang berujung membawa seseorang kehilangan keseimbangan jiwa.
Menurut Dr.Everett Kleinjan yang berasal dari East West Center Hawai, yang memaparkan bahwa komunikasi merupakan sudah menjadi bagian yang kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas. Sepanjang manusia ingin hidup ia perlu berkomunikasi.
Kali ini saya akan menuliskan sebuah cerita yaitu, tentang seorang yang tuli namun ia tidak pernah mengakui bahwa dirinya benar-benar tuli. Suatu hari, si tuli di beri tahu oleh seseorang bahwa salah seorang tetangganya mengalami jatuh sakit. Ia kemudian berfikir sembari merenungkan sambil bertanya dalam hati
“bagaimana dengan ketulianku ini aku bisa memahami perkataan tetanggaku yang tengah sakit? Tetapi bagaimanapun caranya, aku harus menjenguknya.”
“Ooh iya, saya akan memulainya dengan sapaan, apa kabar tetanggaku?” ia akan menjawab,” syukur Alhamdulillah aku mulai sehat, terima kasih.” “Apa yang telah kau makan,”lanjut si tuli.”Si sakit akan menjawab,nanre peca’(nasi bubur).” Si tuli melanjutkan.
“wah sehat sekali, Siapa dokter yang merawatmu?” si sakit akan berkata si anu.
Si tuli melanjutkan,”ia membawa kemujuran pasti kamu akan sembuh wahai tetanggaku.”
Setelah semua dianggap telah dipersiapkan dengan baik, si tuli akhirnya bergegas dengan penuh gairah dan semangat untuk menjenguk tetangganya yang tengah terbaring sakit yang kebetulan berjarak tidak terlalu jauh dari tempat tinggal si Tuli.
“Apa kabar?” tanya si Tuli.
“sekarat” jawab si Sakit.
“wahh syukurlah,” kata si Tuli lagi.
Mendengar jawaban dari si Tuli, si Sakit keheranan dan terkejut kemudian bertanya-tanya dalam hati, “mengapa ia bersyukur?”. Ahh mungkin ia membenciku dan dan sudah pasti mengharapkan aku sakit. Yang kebetulan, si tuli ini tengah berupaya menebak jawabanya yang ternyata berbuah kesalahan.
‘’Apa yang sudah kau minum?” tanya si Tuli kepada si Sakit.
Si Sakit menjawab “Racun.” Si Tuli kemudian melanjutkan,“wahh sehat sekali!” Ternyata jawabanya semakin membuat si Sakit kesal dan marah. Dan pada akhirnya si Sakit mengusir si Tuli keluar.
Setelah percakapan itu berakhir dan membuat si sakit bertambah semakin sakit memikirkan perbincangan itu. Tetapi anehnya, si Tuli tak kunjung mengerti. Ia malah percaya diri sembari berkata “Syukurlah....Syukurlah.” si Tuli berusaha membangun kesan apresiatif. Namun sesunggunya ia melakukan manipulasi tanpa menyadarinya sama sekali apa yang telah di perbuatnya.
Setelah membaca kisah di atas, dan berusaha untuk memaknai di kehidupan realitas saat ini yang mungkin bisa di katakan kejadian seperti di atas, secara tak sadar diri sering kita temui di kehidupan kita. Bahkan, sangat berbahaya jika komunikasi ala si Tuli ini berusaha di pratekkan dan di terapkan oleh para penguasa yang hanya berfikir monolog atau hanya berusaha menebak yang menjadi kebutuhan rakyatnya tanpa pernah mendengar apa yang berusaha di sampaikan oleh si rakyat yang sedang sakit mislanya.
Sekarang percakapan di atas kita ibaratkan sebagai percakapan antara Penguasa sebagai sosok si tuli dan masyarakat sebagai sosok yang telah mengalami sakit, kira-kira apa yang akan terjadi menurut kalian?hehehehehhe
“Ooh iya, saya akan memulainya dengan sapaan, apa kabar tetanggaku?” ia akan menjawab,” syukur Alhamdulillah aku mulai sehat, terima kasih.” “Apa yang telah kau makan,”lanjut si tuli.”Si sakit akan menjawab,nanre peca’(nasi bubur).” Si tuli melanjutkan.
“wah sehat sekali, Siapa dokter yang merawatmu?” si sakit akan berkata si anu.
Si tuli melanjutkan,”ia membawa kemujuran pasti kamu akan sembuh wahai tetanggaku.”
Setelah semua dianggap telah dipersiapkan dengan baik, si tuli akhirnya bergegas dengan penuh gairah dan semangat untuk menjenguk tetangganya yang tengah terbaring sakit yang kebetulan berjarak tidak terlalu jauh dari tempat tinggal si Tuli.
“Apa kabar?” tanya si Tuli.
“sekarat” jawab si Sakit.
“wahh syukurlah,” kata si Tuli lagi.
Mendengar jawaban dari si Tuli, si Sakit keheranan dan terkejut kemudian bertanya-tanya dalam hati, “mengapa ia bersyukur?”. Ahh mungkin ia membenciku dan dan sudah pasti mengharapkan aku sakit. Yang kebetulan, si tuli ini tengah berupaya menebak jawabanya yang ternyata berbuah kesalahan.
‘’Apa yang sudah kau minum?” tanya si Tuli kepada si Sakit.
Si Sakit menjawab “Racun.” Si Tuli kemudian melanjutkan,“wahh sehat sekali!” Ternyata jawabanya semakin membuat si Sakit kesal dan marah. Dan pada akhirnya si Sakit mengusir si Tuli keluar.
Setelah percakapan itu berakhir dan membuat si sakit bertambah semakin sakit memikirkan perbincangan itu. Tetapi anehnya, si Tuli tak kunjung mengerti. Ia malah percaya diri sembari berkata “Syukurlah....Syukurlah.” si Tuli berusaha membangun kesan apresiatif. Namun sesunggunya ia melakukan manipulasi tanpa menyadarinya sama sekali apa yang telah di perbuatnya.
Setelah membaca kisah di atas, dan berusaha untuk memaknai di kehidupan realitas saat ini yang mungkin bisa di katakan kejadian seperti di atas, secara tak sadar diri sering kita temui di kehidupan kita. Bahkan, sangat berbahaya jika komunikasi ala si Tuli ini berusaha di pratekkan dan di terapkan oleh para penguasa yang hanya berfikir monolog atau hanya berusaha menebak yang menjadi kebutuhan rakyatnya tanpa pernah mendengar apa yang berusaha di sampaikan oleh si rakyat yang sedang sakit mislanya.
Sekarang percakapan di atas kita ibaratkan sebagai percakapan antara Penguasa sebagai sosok si tuli dan masyarakat sebagai sosok yang telah mengalami sakit, kira-kira apa yang akan terjadi menurut kalian?hehehehehhe

Comments
Post a Comment